[Sebuah Cerpen] PHK - Selamat Hari Buruh

Friday, May 1, 2020 : 14:28
[Sebuah Cerpen] PHK - Selamat Hari Buruh
[Sebuah Cerpen] PHK - Selamat Hari Buruh (Ilustrasi)

"Perutmu makin besar saja, gemas melihatnya. Terlebih lagi aku tak sabar melihat si ganteng," Ujarku tepat di minggu ke-37 kehamilan istriku.

Malam itu tepat pukul sembilan, mataku masih segar. Begitu juga istriku. Istriku yang cantik jelita. Karena besok jadwalku libur bekerja, dan kami sama-sama belum mengantuk, akhirnya kami habiskan malam untuk berbincang.

Banyak hal yang kami bicarakan, tetapi mengenai anak pertama yang telah kami nanti-nanti selama lima tahun pernikahan menjadi topik dominan.

Sambil mengelus-elus perutnya yang buncit, aku kecup keningnya. Dalam hati aku merasa bersalah, terlambat menabung untuk kebutuhan anak mengharuskan aku harus lembur ekstra sejak pertama kali mengetahui ia positif hamil.

Menjadi buruh pabrik tekstil tak bisa diandalkan, dua tahun kerja aku hanya mampu mendapat rupiah untuk kebutuhan sehari-hari, dan membayar kontrakan di pinggir kota yang kumuh.

Tepat saat Marni, istriku menyampaikan kabar bahagia kehamilannya, aku mulai alokasikan uang lembur kerja untuk biaya persalinan.

Sebenarnya aku jarang lembur kerja, mengingat usiaku yang sudah masuk kepala empat dan tubuhku yang lebih dini merasa lemah. Ringkih sekali tiap begitu kelelahan, sehingga aku memutuskan untuk bekerja sesuai waktu yang telah ditetapkan.

"Nanti aku bersalin di bidan kampung itu saja. Tempat yang kita kunjungi bulan lalu. Bu Santi namanya, kemarin aku bertemu dia saat membeli sayur. Dia tahu keadaan kita dan dia berniat menolong kita saat persalinanku nanti," Ujar Marni.

Aku menatap matanya yang indah, dia wanita yang kuat. Meskipun hidup pas-pasan denganku tetapi ia tak pernah mengeluh.

"Tenang saja, aku bisa mengumpulkan cukup uang sampai hari si jabang bayi lahir." Ucapku menenangkan.

***

Ini hari kesekian dimana aku dan teman-teman bekerja dalam keadaan tidak tenang. Semakin hari rasanya semakin mencekam. Simpang siur kabar yang mengatakan pabrik akan tutup lantaran kalah saing dengan produk impor. Ditambah bea masuk yang semakin tinggi membuat pabrik tempatku bekerja setelah sebelumnya aku hanya naik satu bus ke bus lainnya menjajakan minuman dingin ini berencana gulung tikar.

"Lantas bagaimana nasib kita ini?" Tanya Burhan, salah satu temanku saat jam kerja usai.

"Entahlah. Aku juga harus mengumpulkan uang untuk persalinan istriku. Aku tak yakin jika kita sampai dipecat akan mendapat pesangon sesuai undang-undang pemerintah." Jawabku prihatin.

Burhan menampakkan wajah masam, "Halah.. untuk biaya produksi saja mereka tak punya uang. Mana mereka berpikir untuk memberimu uang sebesar tiga bulan gajimu."

Aku menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan tergesa. Dalam pikiranku yang terbayang wajah Marni, dan perut besarnya yang sebentar lagi melahirkan buah hati kami. Berat sekali rasanya harus menyampaikan kabar buruk ini kepadanya.

"Sudahlah Heri, raut wajahmu seperti orang yang tak percaya kebesaran Tuhan saja. Tak semua orang memiliki gaji, tapi setiap orang punya rejekinya masing-masing." Ujar Burhan menenangkanku.

"Ya sudah, aku pulang dulu. Istri dan anakku pasti sudah rindu. Jangan lupa kau untuk ikut turun lapangan 1 Mei mendatang." Kata Burhan sembari berlalu.

***

Kelahiran 'si ganteng', sapaanku untuk janin dalam kandungan Marni tinggal menghitung hari. Sementara kabar bahwa akan ada PHK massal sudah bukan lagi kabar burung. Aku harus bersiap menerima kenyataan bersamaan dengan menyiapkan mental untuk menjadi seorang bapak.

"Hanya bermodal ijazah SD, aku bisa bekerja dimana lagi? Bisa masuk ke pabrik di ibukota itu saja berkat bantuan kawanku yang berhati baik. Sayangnya dia wafat setahun yang lalu karena kecelakaan. Lantas siapa yang bisa menolongku?" Keluhku pada Marni.

Ya, akhirnya aku ceritakan semua yang terjadi padanya. Hebatnya ia begitu tegar mendengarnya. Hanya setetes dua tetes air mata saja yang tak sengaja jatuh ke pipinya.

"Hai calon bapak. Apakah kau lupa bahwa anak adalah rejeki dari Tuhan juga?" Ujar Marni dengan lantang.

Aku terdiam. Apa yang dia ucapkan ada benarnya. Di kondisi tertentu dia setingkat lebih bijak dariku dalam menghadapi masalah. Padahal usianya terpaut 15 tahun lebih muda dariku.

"Lebih rajinlah beribadah, agar nanti Tuhan menolong kita. Dekatilah Ia dan mintalah Ia untuk memudahkanmu mendapat pekerjaan baru." Lanjut Marni.

***

Pada akhirnya hari yang mencekam itu datang, tepat di Hari Buruh. Sebagian besar teman-temanku tengah bersiap unjuk rasa meminta hak mereka. Sebagian yang lain lebih memilih pasrah dan meratapi nasib. Sembari menikmati kebingungan lantaran tak tahu harus mengais rejeki dimana.

Termasuk aku, yang sejak pagi tadi mendapat selembar surat dari pihak pabrik, duduk termangu di warung kopi tak jauh dari jalan masuk kawasan pabrik. Rasanya ingin segera pulang, tetapi sedih sekali membayangkan wajah Marni yang akan kecewa. Meskipun ia tak pernah mengutarakannya.

Baca Juga : [Sebuah Cerpen] Kakak Pergi dan Tak Kembali

Sembari membawa karton putih bertuliskan "Tolak PHK Sepihak" Burhan berteriak lantang memanggilku dari kejauhan, "Heri, jangan pasrah saja. Istrimu butuh uang untuk persalinan. Jika kau jadi pengangguran bagaimana kau memberi anakmu makan?"

Aku tak bergeming. Hanya melambaikan tangan mengisyaratkan meminta Burhan pergi. Burhan berlalu bersama rombongan teman-teman lainnya dari divisi produksi yang juga kecewa dengan PHK sepihak ini. Ditambah apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Hampir 200 karyawan yang dipecat tidak mendapat uang pesangon sesuai haknya.

Setelah gelas kopiku kosong dan rokok kretekku tak lagi berasap, aku memberi uang kertas lima ribu kepada pemilik warung kopi. Wanita paruh baya yang sejak tadi bercerita sejarah pabrik tempatku bekerja. Seolah dia pendirinya saja bercerita begitu detil padahal ia juga hanya tahu dari cerita karyawan yang ngopi di warungnya.

Baru hendak berjalan pulang, ponsel jadul di saku bajuku berdering tanda panggilan masuk.

Nomor tak dikenal. Aku menyapa dengan halo. Dan terdengar suara wanita dari sebrang sana.

"Halo Pak Heri? Saya Bidan Santi. Sebentar lagi istri Bapak akan melahirkan. Bisa segera ke tempat praktek saya? Bu Marni tak sabar melihat wajah anak pertama Bapak." Wanita itu bicara begitu bersemangat.

Sambil gugup senyumku tak dapat kusembunyikan. Setelah menjawabnya dengan yakin bahwa aku akan segera tiba di sana, aku langsung berlari ke arah jalan raya untuk menaiki angkutan kota.

Setiba di kediaman bidan, aku dapati Marni yang sedang berjuang melahirkan buah cinta kami. Peluhnya bercucuran, matanya kadang terpejam dan kembali membelalak sambil mengejan.

Aku segera menggenggam erat tangannya. Kubiarkan ia yang sesekali menjambak rambutku. Bibirku basah menyebut nama Tuhan dan memintanya menyelamatkan istri dan bayiku.

Seketika aku lupa bahwa kini statusku pengangguran, justru yang terbayang adalah aku dan Marni pergi ke pasar dan membelikan baju yang bagus dan mainan terbaik untuk 'si ganteng'.

Bidan Santi masih saja berhitung satu, dua, tiga dan memandu Marni untuk mengejan. Tak sabar rasanya melihat anak pertamku yang lahir di hari aku di PHK, tepat tanggal 1 Mei.

***

Bayiku lahir dengan selamat dan sempurna, Marni dalam keadaan baik-baik saja. Ini adalah nikmat paling dahsyat dari Tuhan yang pernah aku rasakan.

Setelah dua bulan menganggur, ada pesuruh Tuhan yang datang menolongku. Orang kaya yang masih memiliki ikatan keluarga dengan Bidan Santi. Menawariku untuk membantunya membuka usaha produksi tahu rumahan.

Tuhan tidak tidur. Tidak semua orang memiliki gaji tapi semua orang telah Tuhan jamin rejekinya.

Selamat Hari Buruh

Bandar Lampung, 1 Mei 2020

Share this Article

Terimakasih ya sudah berkunjung dan membaca artikel di blog ini. Komentar kamu akan muncul setelah disetujui, SPAM dan link hidup otomatis dihapus.

8 comments:

  1. Masya Allah, tegar sekali mereka berdua ya.

    Btw, cerpennya sederhana, tapi cerita ngena banget. Sukak!

    ReplyDelete
  2. Masya Allah, reminder banget.

    ReplyDelete
  3. masyaAllah dalem ya pesannya. tenang Allah ga pernah tidur, rezeki orang pasti sudah diatur termasuk bayi yang baru lahir

    ReplyDelete
  4. Satu poin yang menggelitiku. Sudah di-PHK, tapi uangnya sempat untuk dibelikan rokok. Sedikit sih memang. Tapi sama dengan bakar uang huhuhu... Tapi itulah kenyataan. Kadang rokok jadi salah satu penghilang stress atau bahkan menjadi kebiasaan.

    BTW jadi penasaran itu 2 bulan tanpa gaji makan pakai apa ya Allah? Aku prihatiinn.

    ReplyDelete
  5. Aku baca cerita ini sambil di hayalin seperti kejadian nyata. Pengen nangis bacanya betapa tegar. Bisa jadi contoh buat aku sebagai istri.

    ReplyDelete
  6. Ya Allah sedih ceritanya. Pasti campur aduk ya rasanya. Di PHK tapi hari itu juga istrinya lahiran. Kebahagiaan dan kesedihan jadi satu. Alhamdulillah si bapak udah dapat kerja lagi

    ReplyDelete
  7. aku nangis baca ini, yang lain juga pasti begitu. keren pak putri, keren!!!

    ReplyDelete